PECINTA ALAM, penjelajah gunung dan hutan, atau apapun namanya, adalah sebuah komunitas yang terbentuk dari sebuah kenyataan bahwa manusia dan alam adalah sebuah sinergi yang tidak dapat dipisahkan. Karena, manusia pada dasarnya memang memerlukan alam untuk berkembang, demikian pula sebaliknya, alam memerlukan manusia sebagai pemelihara dan pengguna yang bertanggung jawab.
Bisa dikatakan, hubungan simbiotik mutualisme yang terbentuk di antara manusia dan alam adalah hukum tertinggi dalam konteks ekosistem. Paling tidak, pendapat di atas, adalah salah satu dari sekian alasan mengapa terbentuk organisasi pecinta alam. Sebuah organisasi yang mengajarkan mengenai hubungan “cinta” antara manusia dengan hutan dan gunung, sungai, laut, udara, dll., yang dikolaborasikan dengan pendidikan berjenjang melalui laboratorium kepemimpinan yang dimilikinya dan dalam aplikasinya dituangkan dalam bentuk yang beragam.
Baik melalui kegiatan petualangan, maupun bermacam kegiatan yang bermakna filosofis dan sistematis; yakni penanaman keyakinan dan penyamaan persepsi bagaimana membentuk jiwa-jiwa petualang yang selalu berupaya menempatkan dirinya pada posisi yang harmonis dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosial. Sehingga, harapan tertinggi dari semua itu tidak lain adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan; betapa Tuhan tidak pernah sia-sia menciptakan alam semesta, dengan berbagai warna dan bentuk serta hubungan di antara penghuninya. http://www.kafe-relawan.com/artikel/15?mobile=1
LAHIR DARI GERAKAN KEPANDUAN
Pada awalnya (di era 60’an), organisasi pecinta alam di Indonesia lahir sebagai bentuk “pemberontakan” atas sistem kepanduan yang dipandang telah melenceng dari cita-cita sang pendiri gerakan kepanduang Sir Baden Powell (1857-1941). Baden Powell yang menciptakan kepanduan di Inggris itu, pada awalnya mengkombinasikan sistem disiplin militer dengan konsep berpetualang dalam organisasi kepanduan, dengan harapan membentuk kader-kader petualang yang memiliki disiplin tinggi, peka terhadap lingkungan sosial, tidak pantang menyerah, dan mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi.
Sejak era 60’an (hingga saat ini pun cenderung tidak jauh berbeda), gerakan kepanduan di Indonesia dalam rangkaian aktivitasnya lebih condong kepada sistem kerja yang disibukkan dengan pola kepangkatan dan pendidikan berjenjang yang akhirnya melahirkan komunitas yang “terlena” bahwa hakikat kepanduan tidak sekedar berbicara masalah pangkat dan jabatan semata (yang dibuat sedemikian rupa layaknya organisasi militer).
Lalu salah satu “kesalahan fatal” lainnya dari gerakan kepanduan di Indonesia adalah di mana organisasi ini telah menjadi lahan politik; terkontiminasi melalui dana APBN dan APBD, campur tangan pemerintah, dan masuknya elit-elit politik ke dalam struktur kepanduan yang (maaf) mungkin sekedar memanfaatkan posisi strategis dan politis semata.
Alasan-alasan di atas, adalah sebuah gambaran munculnya “pemberontakan” komunitas kepanduan dengan membentuk “organsiasi kepanduan” yang baru; pecinta alam/penjelah gunung hutan. Organisasi ini dibentuk sebagai upaya melanjutkan cita-cita pendiri gerakan kepanduan dunia, dan tanpa menghilangkan beberapa konsep kepanduan di Indonesia yang masih relevan.
Karena, organisasi pecinta alam tidak mungkin meninggalkan pola disiplin dan nasionalisme yang memang diajarkan kepanduan dan menciptakan petualang itu memang harus melalui laboratorium kepemimpinan yang diterapkan secara sistematis. Dari mulai pendidikan dasar, pola pembinaan, masa pengembaraan, kursus-kursus kepemimpinan, petualangan, latihan-latihan, dll. Pada intinya, organisasi pecinta alam mencoba dan terus berupaya menyeimbangkan antara konsep berpetualang, nasionalisme, dan kepemimpinan (manajerial dan administrasi).
PERAN PECINTA ALAM KEPADA BANGSA DAN NEGARA
Lalu apa sumbangsih pecinta alam kepada bangsa dan negara selama ini? Sekalipun pecinta alam relatif masih berumur muda dibanding organisasi Pramuka misalnya, atau Palang Merah Indonesia (PMI), sesungguhnya kontribusi pecinta alam cukup banyak. Dalam bidang konservasi misalnya, di era 80’an organisasi pecinta alam sering menjadi pelopor kegiatan-kegiatan penyelamatan hutan (reboisasi), sekalipun intensitasnya kini mulai berkurang. Atau kegiatan bersih sungai, kota, dll.
Bahkan di banyak wilayah hutan-gunung, banyak kelompok pecinta alam yang rela menjadi jagawana (penjaga hutan) tanpa bayaran dari mana pun, baik dari instansi pemerintah atau pun swasta. Hal itu mereka lakukan semata-mata dalam rangka rasa tanggung jawab mereka kepada alam. Pendapat ini mungkin terasa retorika, namun kenyataan di lapangan menunjukkan demikian.
Lalu di bidang sosial, kelompok pecinta alam juga menjadi kekuatan tersendiri. Contohnya dalam operasi-operasi SAR, baik di darat maupun laut. Demikian pula dalam penanganan-penaganan korban bencana alam. Dalam kegiatan-kegiatan ini, mereka bergerak atas inisiatif sendiri, tanpa dorongan dari manapun, dan atas biaya sendiri. Baik secara pribadi maupun organisasi.
Di bidang olahraga petualangan, kelompok pecinta alam juga bahkan sering mengharumkan nama bangsa. Baik dalam pendakian puncak-puncak tertinggi dunia maupun dalam kompetisi-kompetisi panjat dinding. Pemanjat dinding kita diperhitungkan oleh dunia internasional sebagai salah satu komunitas yang potensial (hal ini terbukti dari berbagai prestasi juara baik di tingkat Asia maupun Dunia yang telah ditorehkan sejumlah atlet yang notabene merupakan hasil godokan organisasi pecinta alam).
PEMERINTAH MENUTUP MATA?
Namun sayang, jika kita perhatikan selama ini, kelompok pecinta alam sebenarnya terkesan dianaktirikan oleh pemerintah. Tidak seperti halnya kepada Pramuka atau PMI misalnya, di mana dukungan pemerintah secara finansial pun sangat besar. Namun, bukan bantuan finansial yang sesungguhnya dibutuhkan pecinta alam dari pemerintah. Karena wujud perhatian itu bukan sekedar itu.
Mungkin pemerintah belum menyadari berbagai potensi dan kontribusi yang bisa dan telah dihasilkan pecinta alam kepada bangsa dan negara. Organisasi ini bukan sekedar komunitas petualang yang sekedar “naik-turun gunung”, namun di balik semua itu, kelompok pecinta alam menyimpan energi yang besar yang mampu mewarnai negara ini dengan segala kontribusinya.
Tetapi, persoalannya “pecinta alam yang tergeser” itu apakah sebagai akibat dari lemahnya perhatian pemerintah, atau komunitas pecinta alam itu sendiri yang mengekslusifkan dan menjauhkan diri dari keterlibatan pemerintah? Tampaknya keduanya benar.
Pemerintah tampaknya memang “lupa” jika pecinta alam itu menyimpan potensi yang sangat besar. Sementara komunitas pecinta alam itu sendiri, tampaknya terlalu asik dengan dirinya sendiri, merasa menjadi komunitas “bebas” bahkan bebas dari hubungan dengan pemerintah (bukankah hakikat pemerintah itu untuk mensejahterakan masyarakatnya, yang salah satu aplikasinya adalah dengan melakukan pembinaan kepada berbagai organisasi yang potensial? Lalu kenapa pecinta alam tidak memanfaatkan ini?).
0 komentar:
Post a Comment
Saling menghormati sesama komentar..........